Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.
Penerapan Program Pendidikan Karakter (PPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari segi penilaian disebut tidak dapat berjalan efektif karena terlalu banyak kategori yang harus dinilai oleh guru.
"Jadi kurang valid dan kurang objektif," tutur Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa (26/12).
Satriwan menjelaskan, dalam penerapan PPK, guru memberikan nilai sikap di bidang sosial dan spiritual.
Di bidang sosial ada 12 kategori yang harus dinilai dan belasan kategori lain juga terdapat di penilaian sikap spiritual.
Banyaknya kategori yang harus dinilai itu, belum termasuk penilaian terhadap tugas, pekerjaan rumah, praktik, dan ujian.
"Kalau satu kelas ada 30 siswa, kemudian dia mengajar di 12 kelas, maka bayangkan berapa banyak yang harus dinilai dengan kategori sebanyak itu," tutur Satriwan.
Satriwan menganggap hal itu membuat guru menjadi tidak fokus dalam memberi nilai. Terlebih, biasanya, guru tidak hanya mengajar di satu kelas saja. Guru akhirnya tak bisa menyelesaikan pengisian rapor pada waktu yang telah ditetapkan.
Satriwan mengatakan hal itu telah terjadi di salah satu SMA unggulan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang tidak dapat membagikan rapor pada 16 Desember 2017.
FSGI, kata Satriwan, bukan tidak setuju dengan program PPK yang diterapkan Kemendikbud.
"Tapi kalau diintegrasikan ke RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan), dan harus ada penilaian PPK, itu yang jadi pusing. Akhirnya asal-asalan," tutur Satriwan.
Satriwan menilai Kemendikbud mesti mengevaluasi penerapan PPK dari segi penilaian secara menyeluruh. Itu perlu dilakukan karena guru di sejumlah daerah mengalami kendala seperti yang terjadi di Kota Mataram.
"Harus ada model e-rapor yang mempermudah guru dalam meng-input nilai, bukan malah sebaliknya seperti yang terjadi sekarang," tutur Satriwan.
Penguatan Pendidikan Karakter diterapkan setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 pada 6 September lalu, sebagai pengganti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang mendapat banyak tentangan.
sumber:cnnindonesia.com
Sumber https://ibadjournals.blogspot.com/Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.
0 comments:
Post a Comment