Oleh: Khoirul Taqwim
JIT melawan JIL mengingatkan kita pada zaman penjajahan belanda, antara masyarakat pribumi melawan ketidak adilan yang dibawa masyarakat barat (VOC Belanda), pada saat itu masyarakat barat dengan atas nama perdagangan telah menipu masyarakat tradisional, yang seolah-olah sebagai sahabat dalam jual beli, tetapi kenyataannya mereka mengeruk kekayaan alam yang ada di negeri ini, kaitan JIL dengan bangsa barat sangat melekat dengan konsep liberalnya yang berasal dari bangsa barat dan sekutunya, jadi tidak heran apabila JIL sebagai wajah penerus lidah masyarakat barat ditentang keras oleh JIT yang menggali dari masyarakat pribumi sendiri.
Sejarah membuktikan, penjajahan Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan mengeksploitasi kekayaan alam. Sebelum mereka masuk kewilayah imperialisme, mereka berdagang yang seolah-olah dewa penyelamat, padahal itu hanya tipu daya yang menyesatkan masyarakat pribumi, tak ketinggalan belanda bersama para orientalis belanda berusaha memperkecil arti dan peran tradisi yang berseberangan dalam sejarah Indonesia.
Sampai saat ini negara Indonesia merupakan sasaran utama bangsa barat (Amerika dan sekutunya) dalam melakukan gerakan “Economic Hit Man” (EHM), yaitu penjajahan ekonomi melalui tipu daya negara secara sistematis untuk mencurangi dan menipu melalui pinjaman utang yang melebihi kemampuan membayar, dan program-program lainnya yang berhubungan dengan kolonialisme ala barat. Kaitan JIL dan ekonomi sangat bersentuhan, sebab dimulai dari kata Islam Liberal dengan membuka wacana ala barat dan tidak lagi menggunakan pemikiran pribumi yang lebih manusiawi. Gerakan JIL diharapkan mampu menerobos penghalang ekspansi ekonomi barat, dengan dimulai melemahkan budaya pribumi yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingannya, maka kata liberal dimasukkan mengganti Induk tepa selira yang dibangun masyarakat tradisional, inilah penjajahan budaya yang diterusakan melalui ekonomi, lagi-lagi kekayaan alam yang menjadi incaran masyarakat barat dan csnya.
Seluruh tindakan masyarakat pribumi selalu menjadi obyek pemikiran mereka yang memandang masyarakat tradsional tidak layak dalam mewujudkan kearifan lokalnya, maka JIT anti dengan budaya pemkiran Liberal (kolonialisme) yang sudah jelas berseberangan dengan masyarakat pribumi dalam menyikapi beragam persoalan yang ada ditengah-tegah kehidupan masyarakat.
kebangkitan masyarakat tradisional di kalangan umat Islam merupakan bentuk kebijakan yang arif dari masyarakat local, untuk membendung gerakan Liberal yang dibawa JIL, karena dianggap pemikiran Liberal tidak sesuai dengan jati diri masyarakat pribumi, sehingga Jaringan Islam Tradisional memberikan pemahaman bahwa liberal merupakan penjajahan yang mengarah eksploitasi sumber daya alam, bahkan mereka memulai dari merenggut jati diri agama, sosial, budaya dan bidang-bidang lain yang ingin dikuasai secara mutlak, agar penjajahan dapat berjalan lancar dinegeri pribumi saat ini, dalam artian kemutlakan yang diinginkan bangsa barat dalam mencapai tujuan pengerukan kekayaan alam, dengan jalan membongkar tradisi, bahkan agama yang dianggap sebagai penghambat imperialisme ala barat, jadi secara sadar atau tidak sadar JIL sudah dibuat sebagai boneka imperialisme barat yang penuh tipu daya.
Tantangan Global jaringan Islam tradisional tidaklah terbatas pada nasib ummat Islam semata, namun pada seluruh kemanusiaan. Hal ini karena ajaran Islam memiliki missi rahmat ke seluruh alam, yang tak cuma berorientasi manfaat untuk bangsa tertentu, apalagi elit tertentu. Karena itu strategi yang harus ditempuh JIT tidak harus pula strategi global yang berdasarkan syara’. Tetapi berdasarkan kepribadian masyarakat prbumi sebagai jalan menempuh cara pandang hidup masyarakat, Tepa selira (tenggang rasa) sudah teruji sejak zaman Kerajaan mataram kuno, sriwijaya, majapahit maupun kerajaan-kerajaan pribumi lain. Tepa selira sangat cocok untuk kepribadian bangsa Indonesia dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat pribumi.
Kebobrokan liberalisme dengan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada masyarakat mereka sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat pun akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis (liberalisme) serta politisi yang merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah.
Para kapitalis Barat melobby para intelektual di negeri-negeri berkembang yang memiliki sumber daya alam besar, baik muslim maupun bukan, agar mereka merubah politik ekonomi dan politik budayanya, agar makin effisien dengan adanya pasar global, dan untuk itu harus “ramah” terhadap Barat. Para pelobby ini adalah professional berpenghasilan sangat tinggi yang menipu negara-negara di seluruh dunia triliunan dollar, penipuan ini di mulai dengan membawa angin segar dan membuat jaringan islam liberal yang seolah-olah sebagai penyelamat kebodohan, padahal tujuan sebenarnya mereka adalah pembodohan yang mengarah pemiskinan.
Bukti nyata penjajahan atas nama kebebasan ala liberal dengan pasar bebas (WTO, AFTA, APEC), negeri-negeri ini telah membuka keran privatisasi yang luar biasa, termasuk dengan menjual asset-asset publik mereka kepada swasta asing, baik dengan alasan untuk membayar utang, maupun agar kompatibel dengan aturan-aturan internasional. Di Indonesia, orang bangga ketika menggandeng PAM Jaya dengan Lyonase dari Perancis dan Thames dari Inggris, seakan dengan itu perusahaan layanan publik menjadi go internasional. Yang kemudian terjadi hanyalah bahwa para pelanggan harus membayar lebih mahal dan hampir tidak ada perluasan cakupan layanan.
Bukti lainnya adalah terjadi penjualan BUMN (misalnya Indosat ke Temasek Singapura, Bandara Sukarno Hatta ke Schipol Belanda) maupun swasta nasional (misalnya Aqua ke Danone, Sampurna ke Phillip Morris dan sebagainya). Sementara itu investasi baru terutama yang terkait dengan sumberdaya alam, energi dan infrastruktur, hampir semuanya selalu diberikan ke asing. Bagaimana dengan sumur minyak di Cepu yang diberikan ke ExxonMobile, atau lapangan gas di Natuna. Semua ini mengikuti praktik tak adil dan ekploitatif yang sudah terjadi puluhan tahun dengan Freeport atau Newmont. Di Freeport, konsentrat emas langsung dikapalkan ke Amerika, tanpa ada satupun petugas beacukai di pelabuhannya. Pemerintah sudah puas dengan kenyataan bahwa PT FreeportIndonesia adalah pembayar pajak terbesar. Sekitar Rp. 6 Triliun yang dibayarkannya setiap tahun ke pundi-pundi pemerintah. Namun berapa sebenarnya yang mereka keruk dari Indonesia tidak ada yang tahu.
Maka jaringan Islam tradisional merupakan kebenaran sejarah yang telah terbukti sebagai alat masyarakat pribumi dalam menyatukan wadah masyarakat, untuk melawan gerakan barat yang ingin kembali menancapkan penjajahan dinegeri kita,, untuk itu imperialsme ala barat (belanda) jangan sampai terulang menjadi penjajahan jilid dua yang digaungkan amerika dan sekutunya, sebab mereka tidak hanya memakan harta benda, tetapi jutaan nyawa harus hilang sebagai korban perjuangan membela kemerdekaan.
Dari uraian diatas semua dikembalikan pada diri sendiri, apakah kita akan berdiri sebagai pejuang pribumi atau kita akan berperan sebagai penjajah yang bernaungan dibawah kaki bangsa liberal yang sekarang dengan wajah JIL (jaringan Islam liberal).
0 comments:
Post a Comment