Saturday, 29 November 2014

UJIAN NASIONAL DI MATA GURU

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.


Assalamualaikum wr.wb
Salam maju bersama

Ujian nasional penentuan kelulusan secara pribadi saya kurang setuju, kalau ujian nasional sebagai pemetaan sesuai dengan kondisi sekolah-sekolah yang ada, saya lebih setuju. Menurut pengalaman saya ketika mendidik di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) ujian nasional adalah sebagai momok yang menakutkan, kenapa bisa begitu ? ini karena secara nyata pendidikan di Indonesia tidak merata dari segi fasilitas sekolah maupun tenaga pendidik. Memang segala kebijakan ada kelebihan dan kelemahannya, namun secara pribadi ujian nasional jika sebagai tolak ukur kelulusan siswa terhadap kemampuan siswa selama mndapatkan materi selama di sekolah, sangatlah jelas anak-anak di daerah 3T tidak mampu untuk mengikuti ujian nasional tersebut. 

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Teuku Ramli Zakaria mengatakan, kecurangan dalam UN terjadi karena adanya budaya seratus persen lulus. Budaya ini berawal sejak adanya EBTA, bahkan sekolah yang jelek pun siswanya harus lulus seratus persen.

"Semua siswa lulus mendapat Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Jadi semua sekolah mendorong lulus seratus persen sehingga jadilah budaya itu,"ujarnya, di Jakarta, Kamis, (27/11).

Ujian nasional penentuan kelulusan secara pribadi saya kurang setuju UJIAN NASIONAL DI MATA GURU
Sumber google
Oleh karena itu sekarang semua anak yang sekolah jadi ingin lulus seratus persen. Makanya mereka mencari berbagai macam cara agar lulus, bahkan kalau tidak lulus ibarat dunia akan berakhir.

Apalagi, lanjut Teuku, sejak otonomi daerah dilakukan, pemerintah daerah menjadikan kesuksesan dalam UN sebagai indikator kinerja pemda yang baik.
"Yang lebih ekstrem kepala daerah bahkan memerintahkan agar semua siswa di daerahnya lulus UN, itu yang menyebabkan terjadi kecurangan‬ massif dalam UN," katanya.

Sementara itu, Guru SMKN Bisnis dan Menajemen 8, Jakarta, Dini Suhartin mengatakan, tidak masalah jika UN dievaluasi. Namun sebaiknya UN jangan dihapus.

"UN merupakan tolak ukur untuk mengevaluasi hasil pendidikan anak-anak. Kalau UN dihapus bagaimana melihat hasil pendidikan anak-anak," kata Dini.

UN, lanjutnya, bisa digunakan sebagai pemetaan saja, bukan sebagai syarat kelulusan. Memang terkadang ada anak yang pintar namun gara-gara sakit atau sedang terkena masalah akhirnya nilai UN-nya jeblok sehingga tidak lulus.

"Kasihan jika ada anak-anak semacam itu tidak lulus hanya karena gagal UN. Jadi kami lebih senang kalau UN digunakan sebagai pemetaan," ujar Dini.

Apalagi anak-anak di Papua tentu saja pencapaian pendidikannya beda dengan anak-anak di Jakarta. Kasihan mereka kalau harus disamaratakan dengan UN sebab fasilitas pendidikan di Papua jauh lebih tertinggal.

Saya setuju dengan pernyataan Bu Dini, kalau ujian nasional bukan sebagai hasil kelulusan siswa, namun sebagai pemetaansaja.

Kemudian dalam ujian nasional ada wacana pelaksanaan melalui online untuk meminimalisir kecurangan..., lha nasib anak-anakQ yang di daerah 3T bagaimana..??

Sumber https://www.maribelajarbk.web.id/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

0 comments:

Post a Comment