Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.
MAKALAHPROFESIONALISME GURU DALAM TUGAS
A. Latar Belakang
Guru sebagai tenaga profesional merupakan tekad pemerintah dan semua pihak dalam upaya menigkatkan mutu pendidikan di Indonesia, agar nantinya mutu SDM Indoensia mampu berdiri sejajar dengan lain di dunia. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi untuk menghadapi tantangan sesui dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, da global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambunga.
(Aang Kusmawan, 2009) : Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan era baru dalam dunia keguruan Indonesia.
Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan. Jangka waktu disahkannya Undang-Undang Guru dan Guru ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika Undang-Undang Guru dan Guru telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural. Lima tahun pascapengesahan Undang-Undang Guru dan Guru merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas, selayaknya pemerintah memfasilitasi terlaksananya pengembangan profesionalisme guru secara berkelanjutan agar kompetensi guru sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Tujuan pengembangan profesionalisme guru secara berkelanjutan memiliki tujuan memelihara, meningkatkan, dan mengembangkan kopetensi guru secar berkelanjutan untuk mencapai standar profesi guru yang dipersyaratkan agar sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
B. Jabatan Guru Sebagai Profesi
Umumnya siswa yang tergolong pintar dengan tingkat ekonomi orangtua yang lebih mapan memilih universitas non kependidikan yang berada di pulau Jawa. Pilihan mereka untuk kategori karir guru jatuh pada pilihan yang ke sekian. Maka akibatnya kualitas guru- guru secara umum cendrung biasa- biasa saja. Adalah suatu hikmah sejak lapangan kerja menjadi makin sulit dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi idaman bagi sebagian siswa di universitas, karena PNS sudah memberi iming- iming hidup enak, ada uang lauk- pauk dan uang TKD (Tunjangan Kesejahteraan Daerah) maka mereka yang belajar di Universitas non kependidikan memutar haluan untuk menyerbu program akta kependidikan agar nanti bisa melamar menjadi guru. Tentu saja hal ini menjadi hak pribadi setiap warga negara.
Kini guru-guru harus memiliki paradigma, bagaimana menjadi guru bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru- guru.
Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru- gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
Untuk mengimplementasikan konsep kepintaran berganda tersebut bagi diri sendiri maka setiap guru perlu untuk memiliki sense of art- rasa seni, mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Mereka perlu untuk melibatkan diri dalam pergaulan , memiliki teman yang luas, mengikuti organisasi, dan melakukan koresponden.
Pengembangan kepintaran berganda lain nya adalah untuk bidang natural. Mereka harus memahami prinsip “go back to the nature” memiliki rasa peduli pada alam dan lingkungan. Mereka perlu untuk melakukan rekreasi dan merasakan betapa alam ciptaan Tuhan itu begitu indah dan menyegarkan. Kemudian setiap guru perlu untuk memiliki badan yang bugar, mereka perlu berolahraga untuk mengeluarkan keringat agar jantung dan paru- paru selalu sehat. Untuk melengkapi konsep kepintaran berganda untuk poin interpersonal yang lain, maka mereka perlu melakukan kontemplasi- merenungan tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan sikap- sikap positif. Kemudian mereka juga perlu mengembamgkan kemampuan berlogika.
Setelah memahami konsep kepintaran berganda, maka mereka juga perlu untuk mengembangkan karakter karakter positif- seperti karakter senang berfikir positif. Tokoh pendidikan Indonesia , Ki Hajar Dewantoro, sudah mewarisi kita konsep untuk memiliki kepintaran berganda, resepnya cukup sederhada yaitu: ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tutwuri handayani. Kalau sekarang banyak ajakan datang agar guru perlu mengubah diri untuk menjadi guru yang bermartabat dan guru profesional, maka salah satu wujud untuk menjadi guru yang demikian adalah melalui konsep pengembangan diri menjadi kaum pendidik dengan kepintaran berganda
C. Pengembangan Inovasi Pembelajaran di Sekolah
Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi.
Ketika sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru akan menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata siswa didiknya. Mulai model potongan rambut, busana yang dikenakan, hingga sepatu yang dipakai akan ditelanjangi habis oleh murid-muridnya. Belum lagi bagaimana gaya bicara sang guru, caranya berjalan, atau kedisiplinannya dalam mengajar. Di mata sang murid, guru seolah-olah diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela. Itu juga makna yang tersirat dalam akronim “digugu lan ditiru” (dipercaya dan diteladani). Tidak heran kalau banyak kalangan yang berpendapat bahwa maraknya tindakan premanisme, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan jabatan, pengingkaran makna sumpah pejabat, jual-beli ijazah, dan semacamnya, gurulah yang pertama kali dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maraknya berbagai ulah anomali sosial semacam itu.
Lantas, bagaimana? Haruskah guru ikut-ikutan bersikap permisif dan membiarkan anak-anak larut dalam imaji amoral dan anomali sosial seperti yang mereka saksikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat? Haruskah gambaran tentang citra koruptor dan pembalak hutan yang hidup bebas dan lolos dari jeratan hukum itu kita biarkan terus berkembang dalam imajinasi anak-anak bangsa negeri ini? Gampangnya kata, haruskah anak-anak kita biarkan bermimpi dan bercita-cita menjadi koruptor dan pembalak hutan?
Kalau proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya; guru cenderung bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah, upaya penyemaian nilai-nilai luhur hakiki saya kira akan sulit berlangsung dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi, kalau anak-anak hanya diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog dan berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur kepada siswa didik hanya tinggal menunggu waktu. Dalam konteks demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk mendesain proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas. KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran.
Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer kelas tidak terpasung dalam suasana yang kaku dan monoton. Para siswa didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi, berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi konsep dan kaidah-kaidah keilmuan sendiri, bukan dengan cara dicekoki atau diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan untuk berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Tentu saja, secara demokratis, tanpa melupakan kaidah-kaidah keilmuan, sang guru perlu memberikan penguatan-penguatan sehingga tidak terjadi salah konsep yang akan berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Melalui suasana pembelajaran yang kondusif dengan memberikan kesempatan kepada siswa didik untuk bebas berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan cara demikian, peran guru sebagai agen perubahan diharapkan bisa terimplementasikan dengan baik. Meskipun korupsi, manipulasi, dan berbagai jenis “penyakit sosial” menyebar dan meruyak di tengah-tengah kehidupan masyarakat, melalui proses rekonstruksi konsep yang dibangunnya, anak-anak bangsa negeri ini mudah-mudahan memiliki benteng moral yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk melakukan tindakan culas yang merugikan bangsa dan negara.
D. Perubahan Pembelajaran
1. Guru : Upaya Mengelola Pembelajaran Berkualitas
Sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi, Guru mempunyai tiga tugas utama yang sangat terkait satu dengan yang lain. Tugas pertama berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran, tugas kedua penelitian, dan tugas ketiga pengabdian kepada masyarakat. Tampaknya, bagi sebagian besar Guru, tugas pertama merupakan tugas utama, meskipun tugas lain juga tidak dilupakan. Dari ketiga tugas tersebut, yang menjadi fokus pada pembahasan ini adalah tugas pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran.
Secara umum, masalah utama yang dihadapi Guru adalah:
a. Guru yang belum siap menghadapi berbagai perubahan
b. keterbatasan akses pada materi mutakhir
c. keterbatasan wawasan dan keterampilan pembelajaran
Untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik, Guru seyogyanya melakukan banyak hal seperti membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, serta menilai proses dan hasil belajar siswa. Sebagai persiapan mengajar Guru mungkin melakukan banyak hal, namun yang pasti Guru akan menyiapkan materi yang akan diajarkannya. Penyiapan materi yang dianggap penting, seperti buku teks dan bahan lain, dilakukan Guru secara rutin. Ketika sudah berada di dalam kelas, sebagian Guru akan langsung mengajar dengan gayanya masing-masing; ada yang menggunakan media dari yang seadanya sampai yang canggih, ada yang hanya mengandalkan kemampuan berbicara, serta masih ada yang mendiktekan catatan kuliah. Di samping itu perlu pula dicatat bahwa dalam pembelajaran tertentu sudah ada diskusi kelas atau diskusi kelompok yang intensif dan menantang serta dikelola dengan baik, atau demonstrasi suatu keterampilan. Tentu saja praktek seperti itu ditemukan di kelas-kelas yang dikelola oleh Guru yang punya kemampuan dan komitmen tinggi. Kenyataan ini menyiratkan bahwa dalam menjalankan tugasnya di bidang pendidikan dan pengajaran, di samping adanya Guru yang sudah mampu mengelola pembelajaran dengan baik, masih ada Guru yang mempunyai masalah.
Dalam bidang penguasaan materi, tampaknya juga masih ada kendala, meskipun sudah banyak Guru yang sangat menguasai materi. Kendala utama terletak pada kurangnya Guru mengakses materi yang mutakhir, serta kurangnya Guru berbagi pengalaman dengan Guru bidang studi yang sama. Kekurangan itu mungkin terjadi karena terbatasnya kesempatan untuk melakukan hal tersebut atau memang kurangnya kemampuan dan kemauan Guru. Selanjutnya, adanya kelas besar, tidak memungkinkan Guru untuk mengenal siswa secara akrab, sehingga kadang-kadang Guru tidak peduli dengan kebutuhan dan minat siswa yang beragam. Kondisi ini diperparah lagi dengan masih miskinnya kemampuan sebagian Guru untuk merancang kegiatan yang mampu meningkatkan motivasi siswa. Berpangkal dari sinilah mungkin muncul pertanyaan besar: “ Why teachers keep teaching, while students stop learning?” Guru-Guru tertentu tidak menyadari bahwa siswa sudah bosan mendengarkan ceramah dan tidak menaruh perhatian lagi pada materi yang diceramahkan. Siswa sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi di kelas, dengan perkataan lain “belajar” tidak terjadi lagi pada diri siswa, namun Guru seolah-olah tidak tahu.
Selanjutnya, berbagai pengamatan lapangan menunjukkan bahwa perilaku mengajar sebagian Guru masih “tradisional”, yaitu lebih berfokus kepada mengajar daripada membelajarkan. Masih ada Guru yang menganggap bahwa ketika ia melakukan tugasnya di dalam kelas, ia harus menyajikan materi (umumnya dalam bentuk ceramah), dan tanpa itu, ia merasa belum mengajar. Mengajar masih diidentikkan dengan memberi informasi, sehingga yang terbentuk pada diri siswa adalah pengetahuan kognitif yang kedalamannya masih diragukan. Pencapaian tujuan jangka panjang yang dicanangkan seperti kemampuan berpikir kritis dan kreatif, bekerja sama, kemampuan mandiri, kebiasaan berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai kepatutan, hampir terabaikan. Dengan demikian, di beberapa kelas tradisi mengajar masih dominan, sehingga interaksi yang berlangsung di dalam kelas lebih bersifat satu arah. Sementara itu, fokus kemampuan yang dibentuk lebih ke arah kemampuan kognitif rendah, sehingga kegiatan pembelajaran lebih terkesan sebagai “content transmission” daripada pengkajian yang berfokus pada kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Potret mengajar masih kental, sedangkan kegiatan membelajarkan masih terasa sangat kurang. Masih miskinnya sebagian Guru dengan khasanah strategi pembelajaran yang mendidik,
Kesimpulan
Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.
Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadukan dengan skil atau keahliannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM, M.Pd, Modul Kuliah, Manajemen Pendidikan, Prodi MAP UHAMKA 2010
http://mgmpbismp.co.cc/2009/04/20/inovasi-pembelajaran-dan-peran-guru-sebagai-agen-perubahan/
Harian Kompas, Juli 2009 , (Aang Kusmawan, 2009)
Sumber http://www.teoripendidikan.com/Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.
0 comments:
Post a Comment