Dulu, waktu kita di Madrasah Aliyah,
aku mencatat lebih dari sekadar pelajaran fiqih dan bahasa.
Ada senyummu,
yang pelan-pelan kuhafal seperti ayat cinta yang tak pernah kuterjemah.
Hari-hari sekolah, kita saling tatap dalam diam,
berbalas senyum lewat kaca jendela dan bayangan.
Namun saat lebaran datang—
itu satu-satunya waktu aku bisa ke rumahmu, tanpa alasan yang dipertanyakan.
Dengan baju sederhana dan memakai sandal seadanya,
aku berjalan melewati sawah yang terhampar penuh suara takbir dalam jiwaku.
Tanganku gemetar, bukan karena takut,
tapi karena harap—aku bisa melihatmu walau hanya sekejap.
Kau keluar dari balik pintu,
dengan wajah indahmu dan senyum yang selalu kutunggu.
"Silakan masuk," katamu,
dan aku duduk canggung, menahan hati agar tak tumpah rindu.
Kita bicara soal guru, soal kelas,
tapi mataku ingin bicara soal cinta yang tak pernah lepas.
Di meja itu, ada nastar dan rempeyek,
tapi bagiku, lebaran selalu manis karena ada kamu di dekat.
Dulu waktu lebaran, aku pasti ke rumahmu,
bukan hanya untuk silaturahmi, tapi menyapa hatiku yang menunggu.
Sekarang, rumah itu mungkin sudah berbeda,
dan kamu, mungkin telah bahagia bersama dia.
Tapi kenangan itu masih kusimpan,
seperti ijazah yang kuselipkan dalam kotak impian.
Untuk kamu, yang pernah jadi alasanku pulang paling cepat,
selamat lebaran — dari seseorang yang pernah sangat dekat dan air mata yang pernah terlanjur jatuh.
0 comments:
Post a Comment