Di sudut malam yang kelam, sunyi,
Seorang penyair menulis dengan hati,
Dengan tinta hitam sepenuh jiwa,
Di atas kertas yang bergetar.
Tangan satu, terulur gemetar,
Menciptakan bait dalam gelap yang samar,
Kata-kata berbisik, suara hantu,
Menghantui pikir, membuat hati runtuh.
Bayangan berdansa di dinding sepi,
Mereka berbisik, “Jangan kau pergi,
Setiap puisi adalah kutukan,
Dari jiwa yang terperangkap dalam kesedihan.”
Lalu datang angin, berdesir dingin,
Menggenggam sepi, menimbulkan keinginan,
Penyair tertegun, terhanyut dalam arus,
Dari bayang-bayang yang semakin membusuk.
Kertasnya berlumur darah, tak terduga,
Setiap kata seolah menganga,
Mengisahkan cerita yang tak terungkap,
Tentang cinta, kehilangan, dan harapan yang rapuh.
Satu tangan menulis, satu tangan berdoa,
Memohon ampun pada jiwa yang terluka,
Namun gelap menelan semua cahaya,
Menghantui puisi hingga akhir masa.
Di tengah malam, ia terdiam,
Menyadari bahwa ia adalah bayangan,
Penyair tangan satu, terjebak dalam karya,
Menjadi hantu dalam dunia yang tak berdaya.
0 comments:
Post a Comment