Aku menulis namamu dalam diam,
di antara bait doa yang tak pernah usai.
Bukan untuk memiliki,
hanya agar semesta tahu, aku pernah berharap.
Tatapanmu teduh, tapi tak bisa kutambatkan,
karena langkahmu telah lebih dulu diarahkan.
Bukan oleh cinta,
melainkan oleh janji yang bukan milikku.
Kau bilang, “Maaf,” dengan mata berkaca,
seakan luka ini hanya satu arah.
Padahal hatimu juga terbelah,
antara restu dan rasa yang tak bisa bersuara.
Aku tak membenci takdir,
meski ia mencoret namaku dari kisahmu.
Karena mencintaimu,
tak pernah meminta balasan, hanya pengertian.
Jika esok kau tersenyum di pelaminan,
biarlah bayangku menjadi angin di antara taburan bunga.
Tak terlihat, tak terdengar,
tapi pernah ada — dalam diam yang setia.







0 comments:
Post a Comment