Jika pena menari hanya demi bayaran,
Jika hak cipta dijunjung lebih dari kebenaran,
Apa arti tulisan yang lahir dari hati,
Jika hanya dihitung dengan angka dan royalti?
Zaid bin Tsabit, penyalin wahyu suci,
Bukan untuk emas, bukan untuk duniawi.
Ia menulis demi langit yang abadi,
Tak menagih sepeser untuk tugas ilahi.
Bayangkan jika ia menuntut hak,
Atas tiap huruf yang dibaca di tiap waktu salat,
Berapa limpahan dunia akan ditagih,
Berapa lembar akan habis untuk menggantinya?
Namun ia diam, dan tulisannya abadi,
Bukan di kas, tapi di hati dan bumi.
Karena tak semua warisan harus berwujud materi,
Ada yang kekal, karena tulus dan suci.
Maka, wahai penulis zaman kini,
Ukurlah pena bukan hanya dari profit yang menghampiri,
Tanyakan pada nurani—untuk siapa engkau menulis?
Untuk abadi, atau hanya untuk habis?







0 comments:
Post a Comment